Update Blog

Btw sekarang saya sudah tidak melanjutkan pengembangan blog ini lagi, kalo ada kesalahan ataupun janji yg tidak dapat saya penuhi, saya minta maaf ya hehe, terima kasih buat kalian

Wednesday, May 23, 2018

Game OpenBVE Butuh Spek Tinggi ? Mari Kita Bahas...

Selamat datang semua, apa kabar kalian sekarang ini ? semoga keadaan kalian baik-baik saja. Aku ingin mengucapkan kepada kalian, selamat menjalankan puasa di Bulan Ramadhan ya, mohon maaf kalau aku ada perbuatan yang salah dari aku sendiri. 2 minggu belum ada update karena minggu ini ada UKK dan libur buat transisi masuk ke Bulan ramadhan (karena itu aku terlambat buat mengucapkan selamat hehe).

Disini ada pembahasan yang cukup menarik dan bisa menjadi referensi seputar OpenBVE Indonesia. Banyak dari komentar di tiap video youtube aku bagian gameplay openbve memiliki pertanyaan yang bervariasi tapi intinya sebenarnya sama
"Mas, spek buat openbve kaya gimana",
"PC/laptopku speknya gini gini bisa buat main openbve ngga ?", atau
"Kalau main openbve harus dengan spek yang tinggi atau enggak ?"
Akan kita jawab di postingan ini bersama-sama.

Sebelumnya bisa saja topik ini dibahas lewat video. Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, laptop yang biasa aku garap buat blog dan youtube sudah tidak beroperasi. Bersyukur juga karena hal tersebut, blog aku bisa untuk dikembangkan kembali dan salah satunya membahas seperti apa gambaran spek untuk bisa memainkan openBVE Indonesia minimal bisa buat kereta jalan xD.

Pertama aku mau menjelaskan isi spesifikasi laptop yang biasanya buat kegiatan produksi video sebagai keperluan youtubeku termasuk openbve. Skenario yang aku gunakan pada intinya menggunakan spesifikasi laptopku yang menjadi perbandingan, mungkin menurut kalian spesifikasi yang dijelaskan ini lebih rendah dari punya kalian, atau malah sebaliknya.
Laptop Lenovo B490 (2013)
Prosessor :Intel Core i3 gen 2 2.5 GHz (2 core, 4 thread)
VGA : nVidia Geforce GT 610m 1 GB VRAM DDR 3
RAM : 4 GB (normal clockspeed) DDR 3, terakhir
Memory : HDD 512 GB 5400 rpm

Aku ambil gambaran spek berdasarkan data diatas tadi. Resolusi yang biasanya aku mainkan adalah HD/720p (1280x720), terkadang menggunakan HD default dari laptop (1366x768) hanya buat mendapatkan data seberapa besar fps saat memainkan openbve dengan spek tadi (tidak ada perubahan yang signifikan kecuali menggunakan rute tertentu). Aku juga mengubah setting openbve yaitu V-sync menjadi off. yang berarti bisa membuka lock 60 fps, sisanya masih default.

Mengapa dengan rute sebagai objek perbandingan ? karena dalam segi performa lebih berpengaruh daripada kereta walaupun keduanya berpengaruh besar dengan kinerja komputer.

Rute 2010-an awal
Skenario pertama berdasarkan rute openbve angkatan 2010-an atau generasi awal seperti Pemalang-Semarang, Citayam-Nambo, Beberapa rute KRL, Bogor-Sukabumi dll. Disini aku bisa mendapatkan fps rata-rata sebesar 60-80, paling tinggi bisa menembus angka 100. Rute ini bisa dipakai dengan lancar karena konsep penataannya masih sangat sederhana dan tidak adanya objek tambahan (semacam detail rumput, ballast, kabel wesel dll), objek pohonnya saja masih sederhana. Objek rute yang dasar dalam penampilan isi rute dan hanya bisa dilihat dari perspektif masinis saja (terkadang beberapa objek tidak bisa dilihat dari belakang arah jalan kereta seperti rumah penduduk), membuat kinerja komputer yang dibutuhkan tidak begitu berat. Beberapa rute tersebut cocok buat yang baru mencoba openbve ataupun kala spesifikasi komputer kalian sudah lumayan jadul.

Rute 2010-2015 (Transisional)
Kemudian rute yang aku sebut rute transisional. Jadi aku sebut aja dengan istilah ini karena rute-rute openBVE pada masa ini mulai mengalami perubahan dari segi grafis dan performa, pastinya desain rute tersebut. Dimulai dari Kertapati-Indralaya yang dimana tekstur disini mulai kuat tapi dari segi motion/gerakan objek sedikit perubahan (walaupun disini ada). Jadi kalaupun digunakan masih lancar walau tidak separah sebelumnya (dalam hal positif).

Pada masanya, rute transisional mulai memberanikan untuk menambahi kereta sebagai objek dari isi rute entah dari stasiun pemberhentian normal, ataupun momen silangan ala kadarnya (Cicalengka-Padalarang, Cilacap-Kroya dll) sampai sekitar tahun 2015. Mulai diperkenalkanlah sistem cuaca dan waktu perjalanankereta seperti rute Purwosari-Kedungbanteng (aslinya sekarang masih bagus dari isi dan kualitas rute apalagi pada masanya, sayang linknya sekarang sudah mati)

Menggunakan rute ini dengan laptop spek tersebut bisa mendapat 40-60 fps dan masih menjanjikan seandainya digunakan lagi, tergantung preferensi dan selera masing-masing.

Rute Setelah 2015
Terakhir ada rute yang dibuat tahun 2015 ke atas sampai sekarang. Spesialnya rute ini memiliki kemiripan dengan dunia aslinya yang lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Isi dari rute semakin bervariasi seperti melewati tanjakan ataupun turunan (sebelumnya sudah ada, tapi semacam rambu-rambunya baru ada sekarang), tekstur yang semakin detail dan animasi-animasi yang seolah-olah seperti aslinya. Bahkan pada angkatan ini rute openbve mulai yang namanya memberikan warna dalam suasana (semisal cuaca cerah, saat fajar dll), cuaca lebih dinamis, sekaligus waktu-waktu perjalanan kereta yang bisa dilakukan kapan saja.

Kekurangannya kita membutuhkan spesifikasi komputer yang lebih tinggi. Karena "gilanya" kebutuhan pemakaian komputer, sampai2 silangan kereta saja beberapa petak sebelum stasiun sempat freeze atau frame drop. Buat kondisi malam setidaknya lebih lancar walau tidak begitu besar dibanding saat siang.

Contoh rute dari awal masa ini yaitu Kroya - Karanganyar yang sangat dominan dengan animasi rumput dan suasana mendung yang tidak sebatas gambar latar (rute) saja dan yang seperti kita tahu seluruh rute fikriRF06 yang semakin sekarang semakin berat. Disini aku bisa mendapatkan sekitar 30-45 fps dengan mode luar kereta bahkan lebih dalam kondisi tertentu. Andai saat recording, bisa 15-24 fps dan paling tinggi 30an. Saat itulah aku lebih memanfaatkan mode kabin masinis (walaupun sudah 3D) daripada mode luar kereta karena lebih lancar dengan rata-rata 40 fps saat recording dan rekor tertinggiku bisa 60 fps (entah saat recording ataupun tidak).

Untuk data lebih spesifik, aku taruh di beberapa paragraf bawah ini

Sebenarnya tidak hanya dari segi rute tetapi add on kereta yang dipakai itu sendiri.

Pertama semisal kereta dengan basic/biasa, low detail (eksterior saja dari hasil foto kamera), dan high detail (seluruhnya bagus sampai hiasan-hiasan kecil yang komplit dan sesuai aslinya) masing-masing memiliki hasil yang berbeda.
selanjutnya dengan kualitas biasa, rangkaian kereta dengan gerbong sebanyak 10 ataupun 20 akan berpengaruh juga dari kebutuhan performa. Semakin banyak semakin berat.
Terakhir, kereta dengan kualitas biasa juga, dengan sedikit animasi seperti buka-tutup pintu juga akan berpengaruh.

Dari segi eksternal, semisal apakah ada aplikasi yang dibuka bersamaan, umur komputer/laptop itu sendiri, kondisi komponen tersebut, mode baterai untuk laptop, dan yang pasti resolusi layar. Apakah kita bisa memainkannya dengan laptop sekalipun ? selama spesifikasi tadi sudah cukup bahkan dikatakan tinggi, bisa banget dipakai. Hanya komputer permanen di rumah, sedangkan laptop bisa dibawa kemana-mana. Tapi dengan spesifikasi yang sama, komputer lebih murah dari segi biaya komponen perangkat daripada laptop, tergantung kondisi pasar.

Konklusi
Intinya dari pembahasan ini, andai kita bandingkan 3 generasi rute openbve tadi saat memainkan game openbve berdasarkan spesifikasi diatas, mendapat beberapa hasil dengan data seperti berikut.
  • Rute 2010 awal
Max (fps): 90-100 (mode kabin), >60 (mode luar kereta)
Rata2 (fps): 60-80 (mode kabin), 50-60 lebih (mode luar kereta)
*karena terlalu lancar, aku saranin V-sync tadi diaktifkan aja, toh monitornya belum 120 Hz/lebih sekaligus memanjangkan umur VGA dari hal yang sebenarnya sudah lebih dari cukup dalam main game ini
  • Rute 2010-2015
Max (fps): >60 (mode kabin), 60 (mode luar kereta)
Rata2 (fps): 50-60 (mode kabin), 40-50 (mode luar kereta)
  • Rute setelah 2015
Max (fps): 60 (mode kabin), 40-50 (mode luar kereta)
Rata2 (fps): 40-60 (mode kabin), 30-40 (mode luar kereta)

*Untuk masalah akurasi dari data tersebut, aku ambil 80% dari real time dan kondisi tertentu seperti yang dijelaskan diatas bisa mengubah hasil data tersebut

Tambahan
Kalau aku sedikit riset, kebanyakan komputer/laptop yang teman-teman pakai memakai spesifikasi Intel dual core 1.5-2.4 GHz, vga intel HD (terutama seri 3000), dan RAM sebesar 2 GB saja. Tenang kok, spesifikasi seperti ini masih lancar (walau lebih lancar yang sekarang). Bahkan sebelum upgrade OS Windows 7 64 bit, menambahkan kapasitas RAM, sekaligus instal driver nVidia Geforce (karena awal 2016 aku baru tahu dengan istilahnya "install driver"), kurang lebih aku memakai openbve dengan spesifikasi ini kecuali processor karena masih di laptop yang sama.

Jadi itu saja untuk gambaran seberapa minimum kebutuhan spesifikasi saat memainkan openbve. Andai sedikit melenceng, mohon maafnya ya mengingat berdasarkan apa yang pernah aku mainkan yang sebagian ada yang lupa (terutama bagian rute transisional). Aku minta kritik atau koreksi semisal salah. Juga kasih saran atau referensi buat postingan selanjutnya, agar blog Railfans S35 bisa kembali update seputar openbve indonesia walaupun sedang tidak main. Semisal pembahasan ini masih meragukan bagi sebagian kalian, bisa diberikan tabel spesifikasi pc/laptop kalian di kolom komentar, dan kita sebagai penulis dan pembaca bisa saling membantu untuk menjawab.

So Much Thanks and Goodbye... ;D

Sunday, May 13, 2018

#KAI "Behind The Scene of Me #3" (Jatuh Cinta Dengan Perjalanan Argo Lawu)

Selamat datang, apa kabar kalian sekarang ? semoga baik-baik saja dan segala tugas negara sudah rampung hehe... Alhamdulillah aku ada beberapa pr baru untuk postingan di blog Railfans S35 termasuk behind the scene ini atau lebih familiarnya trip report dari perjalanan yang aku lakukan. Kembali lagi dengan seri ini dan mengapa bisa dinamai Behind The Scene of Me bisa dibuka postingan yang part pertama.

Kemarin aku sudah membuat versi pretrip-nya yaitu prediksi sebelum aku naik KA Argo Lawu. Suatu saat postingan pretrip ini bisa digunakan untuk memberi kabar trip aku selanjutnya sekaligus prediksi awal atau impresi sebelum naik, kecuali sudah dilakukan beberapa waktu yang lalu ataupun bersifat mendadak. Satu lagi, di dalam postingan pretrip juga aku jelaskan latar belakang dari setiap trip report yang sudah aku rencanakan dan proses menuju hari-H nya. Kalau semisal mager buat nyari, klik aja disini

Biasanya setiap seri ini selalu versi video digarap terlebih dahulu dan dipublikasikan kemudian versi blog setelahnya. Berbeda cerita untuk kedua part ini yang kita awali dengan versi blog, berturut-turut trip KA Argo Lawu menuju Jakarta dan bus Agra Mas "Double Decker" menuju Solo. Sebenarnya sesuai dengan konsep awal seri ini malahan yaitu versi blog kemudian baru video disusul.

Untuk part ini juga, banyak sekali pengalaman yang menarik sampai-sampai behind the scene part ini panjang. Waktu penggarapannya saja sudah menembus 2 minggu lebih berturut-turut. Aku bagi menjadi 3 yaitu sebelum berangkat, saat perjalanan, dan terakhir pasca tiba di tujuan. Tak lupa aku beri gambar/ilustrasi saat itu. Mari kita mulai...

(1/3) Sebelum Berangkat

Tak terasa sebulan lebih sudah lewat pasca pemesanan tiket Argo Lawu menuju Jakarta dan akhirnya tanggal mainnya sudah tiba. Aku ambil hari Sabtu, 7 April 2018 dalam rangka liburan UN menuju rumah kerabat di Depok. H-1 mulai persiapan membawa pakaian ganti, alat mandi, dan apa saja yang akan dibawa pergi. Waktu itu aku agak bingung karena belum sempat beli kartu memori sebesar 32 GB buat stok video trip nantinya, tiba-tiba saja mulai mendekati hari-H. Sempet juga berencana akan pakai flash disk tapi disini aku tidak punya port OTG dan solusinya sementara diakali dengan disimpan di hpku yang lama yang masih ada sisa penyimpanan.

Berbicara hp lama, alhamdulillah aku punya gear baru yang berperan dalam pengambilan footage perjalanan ini baik foto sekaligus video, yaitu xiaomi redmi note 5A. Buat kamera sebenarnya masih sama dengan redmi 2 yang dulu buat ambil footage video perjalanan KA Jaka Tingkir juga, tapi sekarang tidak perlu yang namanya pinjam-pinjam lagi. Selain masalah penyimpanan, earphone yang sudah aku rencanakan dibawa, paginya dicari-cari tidak ada. Ternyata dibawa kakakku dan karena itu aku tidak jadi mendapat footage keberangkatan KA Lodaya Pagi karena sudah agak siangan.

Masih saat-saat persiapan sebelum berangkat ke Stasiun Solo Balapan. Aku dapat kabar KA Sancaka Malam arah Surabaya anjlok menabrak truk pengangkut bantalan rel yang secara logika sangat keras dan padat. Menyebabkan loko yang menarik kereta ini anjlok ke luar rel sekaligus meninggalnya seorang masinis yang hebatnya tidak keluar dari lokomotif sebagai dedikasi dalam menjalani tugasnya. Semoga dicatat sebagai amal syahid oleh Allah SWT aamiin...

Aku akan jawab prediksi di pretrip dari part ini, apakah sesuai atau tidak yaitu dari Eksekutif 2018 body stainless steel yang sempat terparkir di Solo Balapan. Singkat cerita H-1 atau 2 aku dapat kabar rangkaian ini dialokasikan ke KA Taksaka. Waktu itu bisa bersyukur enggak jadi konfirmasi pembayaran tiket selain tidak dapat restu orangtua. Mengapa aku berfikir seperti itu ? Awal niat aku akan menaiki KA Taksaka bagian pagi tersebut karena pingin bisa merasakan kereta kelas eksekutif tapi sebelum keluaran 2016 ataupun sebelum Gajayana 2009. Sebelum dialokasikan rangkaian terbaru tersebut, kalau tidak salah dulunya juga sudah pernah dapat. Yaitu berupa "lungsuran" dari eks Argo Lawu sekaligus Argo Dwipangga yang masing" berjendela besar dan pesawat pada saat kedua kereta tersebut mendapat alokasi kereta eksekutif generasi 2016 yang akan aku naiki ini. Kabar rangkaian "bekas" tersebut untuk sekarang aku belum tahu secara pasti.

Sampailah aku di Stasiun Solo Balapan pada jam 7 lebih. Yup, aku mbolang sendiri tapi menuju jarak yang lebih jauh, Kota Jakarta. Sebelumnya selalu bareng dengan om atau lainnya. Aku sempat kepikiran pergi bareng temen sekolahku ke Jakarta tapi aku terlanjur booking duluan dan temenku naik kereta ekonomi akhirnya. Aku kira saat pertama masuk lingkungan stasiun, rangkaian kereta yang berhenti di jalur 1 adalah rangkaian cadangan Argo Lawu atau yang lebih ngawur lagi KA Lodaya Pagi. Saat aku cetak tiket kereta di dekat loket stasiun, diluar ekspektasi ternyata KA Turangga yang sudah terlambat pake banget (sekitar 4:30 pagi normalnya sudah berangkat). Aku pesan tiket Argo Lawu secara online sekitar 2 bulan sebelumnya dan dicetak di stasiun dengan barcode lewat scanner (tidak harus memasukkan kode booking pada komputer).

Bertepatan sehabis pengecekan tiket dan menyabrangi KA Turangga, terdengar pengumuman stasiun kalau KA Argo Lawu akan masuk di jalur 5. Belum juga menuju ke peron bagian utara jalur 5, rangkaian sudah masuk duluan karena aku iseng masuk ke dalam KA Turangga. Masalah disini aku lupa lokomotif yang menarik rangkaian Argo Lawu CC 206 seri apa, kalau tidak salah sih CC 206 13 77. Itupun jangankan diambil dalam video, fotonya aja enggak punya karena aku fokus masuk ke dalam kereta terutama buat naruh barang bawaan dan cek-cek interior. Aku dapat kursi di kereta pertama atau paling depan di KA Argo Lawu. Alasannya ada di postingan pretrip juga.

Di trip report Argo Dwipangga sempat bilang sandaran kaki sekaligus pintu bordes menjadi PR besar, alhamdulillah saat perjalanan ini sudah ada perubahan dan lebih baik yang ini. Fasilitas didalam kereta ada TV 4 buah (yang suaranya entah kemana), CCTV yang selalu mengawasi isi kereta kecuali bordes dan toilet, peta perjalanan KA Argo Lawu (gambarnya ada disamping), alat pemecah kaca, kalau tidak salah ada semacam alat damkar (koreksinya di kolom komentar bawah dong), terakhir indikator kereta terdiri dari urutan kursi, jam, suhu dalam kereta, stasiun yang dilewati, dan kecepatan kereta.

Perbedaan yang mencolok dibanding tahun sebelumnya, sekarang ditandai kursi prioritas lewat semacam "sarung" kursi bagian atas untuk kursi berwarna kuning yang dekat dengan pintu bordes. Walau terkesan sepele, untuk kaum disabilitas bisa terbantu ketika keluar masuk kereta saat duduk di kursi tersebut. Satu hal yang aku bocorkan sebelum berlanjut, sangat disayangkan indikator didalam kereta yang aku naiki tidak akurat. Awal-awal masih berjalan normal, sehabis Yogya mulai ketinggalan 5 menit dari posisi kereta dan puncaknya sebelum antara Purwokerto-Cirebon sudah tidak ada perubahan.

Sebelum Cirebon sempat kembali normal dan selanjutnya sampai Jakarta ketinggalan beberapa menit lagi. Semoga ditangani masalah ini mengingat krusialnya fasilitas ini. Jika mengalami hal yang sama, bisa ditangani dengan apa yang biasanya kita pakai yang tak lain sebuah smartphone. Dari google maps untuk mengetahui posisi kereta, dan aplikasi pemantau kecepatan terutama kereta api ada beberapa aplikasi yang tersedia di Play Store ataupun App Store.

Setengah 8 pagi diluar prediksi juga, KA Sancaka pagi arah Surabaya tiba di Stasiun Solo Balapan. Salah satu kereta yang dipasang tak lain ada eksekutif generasi 2018. KA Sancaka Pagi juga ikut tertahan bersama KA Turangga. Dalam announcement stasiun juga kalau ada yang tidak akan melanjutkan perjalanan kembali bisa mendapat refund secara langsung (entah secara utuh atau 70-90% an saja). Apalagi sekedar info, Stasiun Solo Balapan terhubung langsung dengan Skybridge menuju Terminal Tirtonadi jadi bisa menjadi solusi ketika dalam situasi seperti ini dan aksesbilitas kedua tempat penting ini semakin mudah.

Pasti ada yang bertanya, seharusnya rangkaian KA Sancaka Pagi ini tidak dapat jatah satupun kereta eksekutif 2018, tapi kok bisa dapat kesempatan untuk merangkai di dalam kereta tersebut ? Jadi KA Sancaka Malam arah Yogya yang rangkaiannya sekaligus untuk KA Sancaka Pagi arah Surabaya terkena PLH (pemberhentian luar biasa) sebagai efek kecelakaan tadi. Posisi kereta ini berada di sebelah timur dari titik kecelakaan. Di waktu yang bersamaan, kereta eksekutif 2018 di Yogyakarta masih tersisa. Kalau ada yang tanya rasanya waktu itu bagaimana, seneng banget sekaligus kaget. Apalagi diluar skenario awal trip ini sekaligus hikmah atas tidak jadinya naik KA Taksaka dan sebelum hari-H tiba-tiba mendapat jatah rangkaian ini. Jadi itulah hikmah besar dari peristiwa ini.


Tidak usah berpikir panjang lagi, aku otomatis masuk dan melihat interior eksekutif keluaran 2018 ini. Untuk pembahasannya penuh, cari aja di Youtube dan sangat banyak videonya. Aku hanya menjelaskan perbandingan untuk kereta eksekutif angkatan 2018 dengan 2016 ini. Dari sandaran kaki sudah pasti ada perubahan yang dimana keluaran 2018 bisa diatur posisi layaknya di eksekutif lama, berbeda cerita dengan 2016. Tapi untuk meja dekat jendela hanya dapat menaruh minuman 2 buah, berkurang satu dari generasi 2016.

Ada juga perubahan posisi lampu baca, kemudian paling kita fokus warna kursi yang sudah berubah (lebih baik yang mana, kembali selera masing-masing). Meja lipat dan isi toilet aku tidak videokan tapi masih sama dengan generasi sebelumnya. Plus ada lubang audio jack untuk mendengarkan audio dari TV kereta. Eksekutif generasi 2017 tidak dijelaskan karena hanya perubahan minor dari 2016 sedangkan 2018 perubahannya bisa dikatakan major/besar-besaran. Jadi untuk perbandingan, eksekutif 2017 aku gabungkan ke 2016 untuk dibandingkan dengan eksekutif 2018.

Berbicara hikmah tadi, temenku naik KA Gaya Baru Malam Selatan (GBMS). Jadwal awal seharusnya tiba di Stasiun Purwosari sekitar jam 5 sore. diluar rencana harus menunda keberangkatan sampai jam 2 malam dan otomatis sudah masuk hari minggu. Disini aku malah iri karena selain bisa sampai Jakarta saat-saat siang hari, mereka yaitu dia sendiri dengan bapaknya dapat makanan gratis 2 kali. Sehabis itu turun di Stasiun Jakarta Kota langsung jalan-jalan ke Kota Tua. Tapi maklumlah karena mereka hanya 3 hari saja disana, setelah itu sudah pulang lagi.

Kembali ke KA Sancaka Pagi ter-spesial sepanjang aku selalu memantau kereta ini. Saatnya keluar dari dalam eksekutif "new image" 2018 dan aku ambil foto ketiga kereta tersebut di sisi timur stasiun karena bisa dibilang momen yang langka. Satu kesiangan (Turangga), satunya lagi dapat rangkaian cadangan yang "gak nanggung" (Sancaka Pagi) dan terakhir kereta yang dapat teman baru sebelum berangkat (Argo Lawu)


Tidak terasa 5 menit lagi KA Argo Lawu akan berangkat, saatnya kembali ke dalam rangkaian kereta bagian belakang dan keselip sebiji kereta berkode ML (Malang) yang kemungkinan kalau tidak dari KA Gajayana berarti Bima. Masuk ke dalam toiletnya dengan sedikit effort (karena ribet bawa hp) dan aku mendapat toilet yang lebar. Masih wangi dan "jendela" toilet bisa dibuka tapi lumayan tricky, minimal berfungsi agar sirkulasi udara bisa masuk atau sekedar ngintip luar terutama dengan kamera. Btw bagian klip video untuk isi toilet tidak sengaja kehapus tapi intinya toilet ini tidak mengintimidasi siapapun yang ingin buang air apalagi saat sudah berjalan. Aku duduk salah satu kursi di sisi kiri kereta untuk melihat proyek Flyover manahan nantinya. Saatnya KA Argo Lawu siap berjalan.

 (2/3) Perjalanan Terindah

Sudah menunjukkan pukul 8 pagi WIB, Saatnya kereta superior dari Solo KA Argo Lawu meninggalkan Stasiun Solo Balapan sekaligus Kota Solo tercinta. Selamat tinggal KA Turangga dan Sancaka Pagi. Satu hal yang baru notice dari KA Turangga tadi, bagian kereta paling belakang sudah ditempel stiker Asian Games. Kebetulan waktu itu ada proyek overpass di Manahan, palang kereta Pasar Nongko barat stasiun sangat ramai. Saat melintas di proyek tersebut aspal jalan di sebelah selatan rel sudah menjadi tanah. Sehabis Stasiun Purwosari kecepatan kereta mulai menembus 50-60 km/j. Lagi-lagi aku speechless karena berkesempatan kembali naik kereta eksekutif tapi full trip Solo-Jakarta. Waktu itu cuaca cerah tapi sayang Gunung Merapi dan Merbabu ketutupan awan tipis.

Didalam kereta selain ambil video dan menyaksikan hamparan zamrud dalam bentuk pemandangan sawah yang masih hijau-hijau sampai yang sudah menguning. Pertama kali aku membaca majalah kereta api yang disediakan tiap kursi dan tidak ditemukan kala naik KA Argo Dwipangga tarif parsial tahun lalu. Entah boleh dibawa pulang atau hanya sekedar dibaca di dalam kereta. Andai dibolehkan rasanya menyesal juga karena isi kontennya sejujurnya menarik buat dibaca :(. Teringat majalah, kita akan bahas juga disekitar kursi kita diberikan fasilitas apa saja. Dimulai meja sisi jendela untuk menaruh minuman sebanyak 3 buah, 2 slot charger, satu plastik hitam tiap kursi untuk jaga-jaga ada yang mabuk kereta, 2 buah gantungan buat tas kecil ataupun plastik sampah di sebelah jendela, reclining seat yang tanpa mengganggu aksesbilitas kursi belakang (sekaligus jarak antar kursi leluasa buat masuk keluar kursi) bahkan bisa diputar depan atau belakang agar bisa berhadapan ketika dibutuhkan.

Sebelum masuk ke Stasiun Gawok
Selanjutnya dari bagian kelemahan eksekutif angkatan 2016 (2017 mungkin termasuk) ini, sandaran kaki sudah ada peningkatan karena sedikit membutuhkan tenaga lebih alias enteng. Sempat juga kakinya keluar dan tidak mengagetkan sekitarnya (bahkan sempat disengaja malahan). Berlanjut ke meja lipat tiap kursi baik untuk menaruh makanan itu sendiri, atau bisa menaruh netbook atau laptop yang non seri gaming (ultrabook, multimedia dll masih bisa) beserta cup holder, tirai jendela yang ditarik dari atas dan sistemnya lebih modern dari sebelumnya, terakhir pastinya jendela kaca dengan segala keindahan sekitar kereta. Fitur yang tidak banyak dijelaskan tapi sangat fungsional adalah sandaran siku di pinggir jendela sebagai bonus penumpang "pinggiran kereta" hehe...

Baru 20 menit awal keberangkatan, KA Argo Lawu sudah berhenti di pemberhentian pertamanya Stasiun Klaten. Dilaporkan ada puluhan penumpang dari Klaten yang akan menaiki kereta ini. Sebelum masuk ke Stasiun Klaten, ada sedikit cerita unik. Aku juga menjelaskan awal pemberangkatan posisi aku di kereta bagian belakang. Kalau tidak salah sehabis Stasiun Gawok aku kembali pindah ke kereta depan dan di kereta makan aku berpapasan dengan kondektur yang sedang mengecek tiket penumpang di kereta bagian belakang. Saat di Stasiun Cirebon tiketku baru dicek tapi tidak dibolongi seperti biasanya. Dikira nantinya aku akan dicek tiketnya di kereta makan apalagi sebelumnya sudah siap dan ditaruh di dalam tas kecil.

Hanya 2-3 menitan saja berhenti, KA Argo Lawu meninggalkan Stasiun Klaten. Seingetku saat menuju Yogyakarta aku lebih fokus majalah dan sedikit yang aku ambil momen. Sebelum masuk ke Yogya, penumpang di kereta yang aku naiki masih 50% an dan dibelakangnya lebih ramai tapi paling belakang aku tidak cek (kemungkinan sedikit).

Kota Gudeg sudah dicapai kereta ini dalam 45 menit saja dari Kota Solo. saat disini, sisa kursi di kereta 1 kebanyakan untuk rombongan yang entah rombongan apa. Saat masuk Stasiun Tugu saja banyak banget penumpang KA Argo Lawu berdiri di peron stasiun dan sebagian biasanya ada bule. Disini aku mulai curiga indikator kereta tidak akurat yaitu stasiun, kecepatan, dan paling vital jam digital. Niatanku mau ke belakang karena biasanya lumayan lenggang disana tapi rempongnya minta ampun plus karena masih ramai bongkar muat barang ke bagasi jadinya stay di kursi saja, dan apa yang aku putuskan tidak salah juga.

Berangkat kembali menuju Stasiun Kutoarjo, dengan penumpang yang sudah penuh. Sesuai dugaan awal aku simpan beberapa video dan foto tersebut ternyata boros. Kaget lah saat sehabis Yogyakarta baru menyadarinya karena masih 10% dari total perjalanan, penyimpanan hp mulai penuh dan sebagian dipindah ke hp yang lama. Sepanjang perjalanan ini lebih dominan kelak-kelok, jadi karena aku berada di kereta paling depan bisa melihat kereta paling belakang. Masih banyak juga di sekitaran rel berlatarkan hutan-hutan dan yang pasti sawah. Tak lupa latar pegunungan di arah utara menurut kompas, pelengkap untuk melihat pemandangan yang enak dilihat dan menenangkan.

Sekitar pukul 10 an kita tiba di Stasiun Kutoarjo dan berangkat kembali. Mulai dari sinilah banyak sekali pemandangan yang membuat aku tidak sia-sia menghabiskan Rp 310.000 hanya menaiki kereta ini, padahal hanya menambah Rp 50.000 lagi bisa ke Jakarta dengan pesawat tapi hanya 1 jam perjalanan (menurut opiniku). Saat berhenti disini juga aku sekedar iseng ke kereta makan dan sudah pasti aku berniat mencoba makanan disana. Terakhir sudah lama dan rasanya hambar (sedikit catatan sudah 3-4 tahun yang lalu dan di kereta ekonomian).

Pilihanku ada di Nasi Rames Ayam dan harganya Rp 32.000 dan dibayar di tempat. Enaknya bisa diantar ke kursi kapan aja dan sebenarnya tiap waktu pelayan ini keliling tiap kereta. Tapi aku baru bahas ini saat di Kutoarjo. Pembahasan makanan serta pelayanannya ini aku taruh di bawah lebih tepatnya pengalaman fullnya. Btw ada juga yang daging sapi dengan menambah Rp 3.000 (atau mungkin lebih)

Sepanjang perjalanan sampai Purwokerto, ada pekerjaan proyek double track (DT). Tepat saat meninggalkan Stasiun Kutoarjo, sisi rel yang akan dibuat sudah diberi ballast/kerikil bahkan bantalan rel sudah ditanam tinggal pemasangan rel itu sendiri dan juga konstruksi Jembatan dari berupa persiapan fondasi sampai ada yang sudah jadi. Sedikit heran saat melewati salah satu jembatan pada jalur baru tersebut memiliki ketinggian diatas rel yang kereta ini lewati jadi seolah-olah tidak seimbang.

Sisanya kebanyakan masih perataan tanah bahkan sebagian belum digarap dan hanya sebatas pendataan tanah. Selain itu, penampakan pegunungan serayu (entah bagian selatan atau utara untuk ini) semakin mendekat sekaligus membesar yang menjadi sesuatu yang jarang ketika kita sering naik kereta malam. Sempat berhenti normal di Stasiun Karanganyar yang aku lihat saat siang hari seolah-olah tidak begitu luas padahal hampir sama dengan Stasiun Purwosari.

Tengah perjalanan tiba-tiba seisi kereta gelap karena KA Argo Lawu melewati terowongan terpanjang yang beroperasi di Indonesia, Terowongan Ijo. Setelah keluar, ada proyek DT yang dimana nantinya kereta tidak akan melewati terowongan lagi atau dengan kata lain dibuatkan jalur baru yang menembus perbukitan. Setelah melewati terowongan Ijo KA Argo Lawu melewati Stasiun Ijo didekatnya. Aku lupa disana ada kereta yang kena giliran disana apa tidak.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, KA Argo Lawu sudah sampai Stasiun Kroya dan langsung belok di persimpangan menuju Purwokerto pada sekitar jam 11an siang. Proyek DT sehabis persimpangan ini unik, karena dibangun langsung 2 jalur lagi dan bertambah menjadi 3 jalur sekaligus, sudah berubah istilahnya menjadi Triple Track (TT). Salah satu rel berperan untuk membantu proyek secara sementara dan nantinya akan dinon-aktifkan ketika jalur DT nya sudah beroperasi. Btw aku cari di google maps, daerah disana namanya Kali Mujur (cmiiw) dan merupakan area rawa/danau.

Jika ada yang bertanya, puncak proyek DT yang sudah dilewati kali ini ada dimana. Daerah tersebut ada di antara Stasiun Kebasen - Stasiun Notog. Dari pembangunan Jembatan Serayu yang baru hanya kurang penyambungan rel dan fisik jembatan. Tidak jauh juga sebelah utara ada Terowongan Kebasen Baru. Dekat konstruksi terowongan tersebut KA Argo Lawu berjalan perlahan dan tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Bisa jadi karena efek dari konstruksi ini sendiri atau menunggu giliran kereta depannya untuk berhenti di Stasiun Notog selama 5 menit, karena saat berjalan lagi sudah ditunggu KA Fajar Utama Yogya di Stasiun Notog 

Melanjutkan seputar makanan, aslinya dari rumah aku sudah dibawakan nasi bungkus buat siang. Sebenarnya iseng nanya di kereta makan ada sendok plastik yang tersisa karena siapa tau masih ada dan aku belum cek sepenuhnya di dalam kresek nasi bungkus. Padahal tadi aku sudah bawa sendok sendiri. Masalahnya bukan disitu karena sudah ketemu juga akhirnya.

Entah ini peraturan baru atau sebenarnya sudah lama, di kereta makan aku tidak dibolehkan membawa makanan dari luar. Aku pantau di lingkungan kereta makan tidak ada tanda peraturan tertulis semacam "Dilarang membawa makanan ataupun minuman dari luar" atau sebagainya. Tidak sampai disitu aja. Setelah selesai makan nasi "bungkusan" tadi, aku kembali lagi ke kursi. Tidak diharapkan datanglah pelayan makan yang entah pengalaman kerjanya masih awal-awal atau gimana, diminta untuk bayar makanan yang sudah dipesan sekaligus dibayar sewaktu di Kutoarjo. tidak hanya sekali, sudah 2 kali ditanya dan ketiga dia tanya siapa yang melayani pesanan ini. Intinya disini dalam value dari makanan itu sendiri sudah bagus, tapi pelayanan makanan disini kurang profesional dan terkoordinasi yang bisa dikatakan sedikit mengecewakan.

Kembali lagi ke perjalanan. Pada part 1 (KA Jaka Tingkir) seri ini, aku kepikiran apakah saat berhenti di Stasiun Purwokerto nanti diberi waktu 10 menit buat berhenti. Terdengarlah suara announcement menandakan akan masuk ke Stasiun Purwokerto. Saat berhenti disana ada pergantian masinis dan aku keluar ke bordes hanya sekedar menghilangkan kejenuhan saat duduk. Hanya kurang dari 5 menit saja KA Argo Lawu berangkat karena sempat berhenti di lingkungan Terowongan Kebasen Baru tadi dan seharusnya bisa berhenti 10 menit yang murni dari jadwal kereta. Jadi pernyataan tadi syukurnya masih berlaku untuk semua kereta yang berhenti di Stasiun Purwokerto terutama KA Argo Lawu.

Setelahnya KA Argo Lawu kembali berangkat dan aku baru sadar DT Purwokerto-Cirebon sudah bisa dilintasi. Dulu saat melintas jalur ini terakhir, aku pikir bakal dominan lurus apalagi sering lewat sini, tetapi dengan catatan kondisi blind view karena murni sering lewat saat malam hari. Setelah main ditempatnya langsung, separuh jalur ini ada yang melewati pegunungan dan sisanya sesuai perkiraan awal. Berbicara separuh jalur, titik tengah untuk lintas ini tepat ada di Stasiun Prupuk dan ada persimpangan arah kanan langsung menuju Tegal, kita belok ke kiri.

Pegunungan Serayu Utara bisa dilihat secara jelas dan sangat dekat. Cuaca mulai mendung tetapi tidak begitu gelap dan jalur disana penuh kelak-kelok yang menjadikan kereta api yang melewati daerah tersebut terutama KA Argo Lawu terlihat "seksi" baik dilihat di dalam ataupun di luar kereta. Beberapa menit setelah keluar dari Stasiun Purwokerto akhirnya aku berkesempatan makan nasi rames daging ayam yang sudah dibagikan saat berhenti di stasiun tersebut. Penyajian saat masih hangat menurutku nilai plus. Ayam yang lumayan mantap serta tambahan kentang goreng dan oseng tempe yang menurutku agak sedikit. Sekaligus ada kuah buat ayam juga tapi hampir berceceran karena dibuka saat kereta sedang berjalan. Karena sudah siang juga, hp masih dicas, kenyang sehabis makan siang, dan puas melihat panorama sekitar sini, aku putuskan untuk tidur dan tidak jadi berencana memantau Stasiun Prupuk tadi.

Kembali terbangun dari bobokku, masih di lintas yang sama tapi sudah di daerah yang berbeda dan tersisa seperempat langkah menuju Cirebon. Walau masih lebih eksotis bagian sebelumnya, setidaknya aku masih bisa menikmati dan tidak sadar juga kalau KA Argo Lawu sudah memasuki Jawa Barat sebelum iseng buka google maps (tapi belum mode gps/navigasi semacamnya). Indikator kereta yang sebelumnya sempet stuck berhenti sudah kembali lagi tapi entah kenapa langsung tidak normal lagi saat masuk Cirebon. Ini juga menjadi kedua kalinya kereta yang aku naiki berhenti di Stasiun Cirebon setelah KA Bengawan. Lha, kok bisa ? Karena waktu itu ada pergiliran kereta lain.

KA Argo Lawu tiba di Stasiun Cirebon Kejaksan. Aku keluar lagi menuju bordes kereta sekedar relaksasi. Di sebelah selatan Argo Lawu ada Cirebon Ekspres yang terlebih dahulu berangkat ke Jakarta. Seperti yang dijelaskan di awal, akhirnya tiketku dicek kondektur kereta tapi tidak dibolongi saat pindah ke kereta lebih belakang bersamaan pindah menuju bagian kursi yang sedikit orangnya karena biar bisa lebih pewe aja. Sebagian penumpang turun sekaligus naik dari sini juga.

Sepanjang Cirebon-Cikampek dipenuhi dengan sawah di dataran rendah nan datar dan di sebaliknya bagian kiri kereta terdapat pegunungan jawa barat bagian selatan yang dari pandangan KA Argo Lawu aja terlihat besar, apalagi pas naik kesana. Saat meninggalkan stasiun Cirebon aku kepikiran lihat posisi kereta di google maps dan bekerja secara fungsional walau baru mengetahuinya saat melewati separuh lebih dari jarak total KA Argo Lawu. Selain kedua penampakan tadi, ada juga tambak-tambak yang jarang ditemukan di daerah Jawa Tengah sekalipun (cmiiw).


Sejak berangkat dari Solo aku masih was-was dengan sisa penyimpanan di hpku karena sudah kemakan 5 GB dengan video footage. Sebagian sudah dipindah ke hp satunya tapi masih kurang. Akhirnya diakali dengan direkap beberapa footage dan dirender, setelahnya klip video tersebut dihapus. Sisanya hp ditinggal cas sekaligus rendering video yang sangat memakan waktu dan aku tidur lagi. Jadi cara ini membuat aku masih bisa dapat video footage KA Argo Lawu sampai pas di tujuan akhir nantinya.

Sudah jauh sekali aku merasakan naik KA Argo Lawu, saatnya membahas masalah terakhir sebelum fokus perjalanan menuju tujuan akhir yaitu seberapa kedap suara kereta eksekutif 2016 ini. Pembahasan disini sangat penting karena aku dapat kursi di kereta pertama atau paling depan yang dimana berdekatan langsung dengan lokomotif sekaligus pembangkit, kurang apa coba. Kita sudah tahu kalau karakter klakson CC 206 keras dan cempreng.

Disini sedikit sekali suara yang diterima dibanding saat berdekatan langsung, minimal menuju bordes aja. Jadi saat bunyi menurut aku tidak terganggu, paling sepanjang perjalanan lebih diisi suara pembangkit daripada si loko itu sendiri dan itupun sudah lumayan nyaman. Untuk masalah kekedapan suara disini yang konon lebih rendah dibanding generasi sebelumnya bukanlah kekurangan yang sangat menonjol dari kacamata subjektifku, malahan sudah mencukupi yang ada. Karena itulah aku betah sampai ketiduran beberapa kali dan next time aku kembali trip tapi dengan eksekutif lama saat sudah waktunya dan membandingkannya dengan generasi yang lebih barunya (kecuali 2018).

Terbangun dari tidur, area persawahan sudah mulai sedikit dan sebaliknya mulai dominan industri-industri. Saat memasuki Stasiun Cikampek KA Argo Lawu mulai memelankan taspatnya dan di sebelah kirinya yang tidak lain dari lintas arah Bandung ada sebuah kereta kelas ekonomi berjalan bareng. Awalnya sih ngiranya Argo Parahyangan karena saking banyaknya frekuensi kereta ini. Aku sekedar cek, kereta tadi adalah kereta idamanku KA Serayu Pagi arah Jakarta. KA Serayu Pagi harus mengalah di Stasiun Cikampek dan mendahulukan KA Argo Lawu untuk menuju Jakarta.

Sepanjang perjalanan, aku lumayan sering browsing di hp. Sampai sekarang dan di daerah Cikampek aja masih ada yang belum jaringan 4G (kecuali telkomsel). Paling parah saat di area persawahan yang masih sinyal E. Jadi saran buat provider2, semoga sepanjang rel kereta sinyal jaringan data sudah bisa mencapai 4G, apalagi 2 tahun lagi 5G beroperasi di luar negeri (in my opinion).

Pasca Tujuan Akhir (3/3)

Semakin kesini, mulai dipenuhi bangunan-bangunan dari rumah sampai pabrik. Makin tidak sabar buat tiba di Jakarta yang hanya tersisa puluhan kilometer lagi. Mulai banyak juga konstruksi KRL juga sehabis Stasiun Cikarang, dan sehabis Stasiun Bekasi proyek DDT disana sudah berjalan lebih jauh daripada saat terakhir lewat jalur sana. Ada yang masih rata dengan tanah dan bahkan bangunan yang direncanakan terkena proyek ini belum ada yang digusur. stasiun-stasiun mulai muncul peningkatan fisik dan banyak orang-orang nongkrong di bagian jalur yang belum dipakai.

Akhir cerita perjalanan terindah dan dengan hal-hal yang tidak diduga apalagi aku belum main jauh dengan perjalanan kereta api ini. Sekaligus sedih juga karena dari awal adanya musibah KA Sancaka Pagi dan akhir perjalanan ini, aku sudah sampai tujuan yang dimana aku harus meninggalkan KA Argo Lawu. Awalnya aku ada niatan bisa ambil footage calon dipo terbesar di Indonesia, Dipo KA Stasiun Cipinang. Saat mau masuk ke sana aku malah ditelpon Ibu tapi sekalian kasih kabar sudah sampai di Kota Jakarta.

Misi akhir aku selanjutnya adalah turun dari stasiun dan naik KRL menuju kota Depok. Sebenarnya aku awalnya pingin turun di Stasiun Jatinegara karena saran Ibu biar bisa transit ke Stasiun Manggarai dan langsung ke tujuan akhir. Masalahnya sejak awal niatanku turun di Stasiun Gambir apalagi penasaran dengan isi stasiun ini. Singkat cerita aku tetap turun di Gambir dan disana aku sholat dan sebelumnya buang air karena sepanjang perjalanan aku tidak buang air mengingat rasanya enggak kebelet aja di dalam kereta. Saat turun juga aku kelupaan buat bisa mencoba toilet kereta disini apalagi di salah satu toilet yang lebar.

Selesai semuanya tujuan setelahnya pergi ke Stasiun Juanda yang berdekatan dengan Masjid Istiqlal buat naik KRL. Untuk kesana aku naik Uber motor karena aplikasi gojek belum dipasang dan coba-coba sekalian. Drivernya kebetulan dapet yang asik tapi karena kebiasaan merokoknya terasa menganggu buat aku. Saling cerita dan si driver bilang kalau ini hari terakhir uber motor masih ada karena seperti yang kita tahu Uber di Indonesia diakuisisi oleh Grab, dan ditanya juga apa nanti masih lanjut jadi driver dia belum tahu. Sebenarnya bisa aja jalan kaki ke Stasiun Juanda tapi daerah yang akan dilewati masih blind dan takut kenapa-napa. Naik Transjakarta pun sebenarnya bisa tapi waktu itu aku lupa caranya daftar top-up dan lebih milih main aman. Untuk sekarang sudah tahu akhirnya buat daftar top-up.

Dari rumah sebelumnya sudah bawa kartu buat naik KRL tapi THB (tiket harian) dan sudah 2 bulan yang lalu (THB berlaku dipakai selama 7 hari saja). Aku turun dari kendaraan di bagian samping stasiun dan disana buat lagi. Pas naik dan sampai di peron stasiun, pintu KRL tujuan bogor sudah ditutup. KRL arah Bogor/Depok selanjutnya belum datang", sebaliknya arah Bekasi malah lebih sering. Setelah KRL ke bekasi yang pertama keluar dari Stasiun aku kepikiran kenapa enggak transit di Manggarai aja. KRL yang kedua datang, aku langsung aja naik dan beruntung bisa dapat tempat duduk. Posisi sudah jam 4:30 sore dan aku rencana dijemput jam 6 malam yang sebenarnya dihitung dari Jatinegara. Keadaan itu aku belum kabarin sama siapapun.

Sampai di Stasiun Manggarai aku turun, dan tidak sampai 5 menit KRL menuju Bogor datang dari arah Tanah Abang dan lagi-lagi dapat tempat duduk. Sampai di Depok alhamdulillah jam 6 pas dan turun di Stasiun Depok Lama sekalian maghrib di musholla stasiun. Herannya tidak ditempatkan khusus sejak beberapa tahun yang lalu sampai waktu itu. Sudah deh, keluar stasiun dan dijemput kerabatku di SPBU dekat stasiun dan baru aku cerita-cerita kalau aslinya turunnya di Gambir. selama 8 hari disana aku berlibur dimanapun terutama menuju rumah pakdhe di daerah Curug, Banten dengan KRL arah Parung Panjang dan muter-muter Jakarta pakai Transjakarta terutama ke Mall Central Park.

Untuk part ini maklum ya panjang banget. Inti disini untuk menaiki kereta eksekutif waktu siang hari adalah pilihan terbaik dibanding malam, apa yang belum kesampaian ketika ada waktunya lakukan aja. Disisi lain ada beberapa kekurangan yang malah sangat krusial segera ditangani seperti pelayanan makanan kereta dan indikator kereta. Obsesi selanjutnya aku naik KA Bangunkarta dengan start dari Stasiun Solo Jebres karena masih memakai eksekutif lama, lebih tepatnya eks Bima dan Gajayana (sebelum angkatan 2009). Tapi uangnya belum ada dan aku tabung lagi. Semoga ada kesempatan apapun agar bisa naik kereta lagi aamiinn..

Walaupun aku belum bisa menggarap video trip report ini, aku sisakan kolom buat link videonya. Andaikan sudah jadi, aku update lagi postingan ini sekaligus diberitahu di Instagram. Jadi follow ya, nama akunnya ada di bagian atas postingan.

[Updated]
Sekarang trip reportnya sudah jadi. Bisa dibuka linknya :D
https://youtu.be/mvL_FFcs5is

Next part ada bahan dengan bus Agra Mas DD. Disini aku banyak ambil foto karena alasan sisa memori. Banyak momen sebelum meninggalkan Kota Jakarta. Terima kasih yang sudah sabar menunggu part ini karena perjalanan ini saja 8 jam, belum saat berangkat ataupun yang dilakukan setelah sampai di tujuan akhir, lebih tepatnya stasiun atau terminal. Maaf kalau ada yang typo, karena saking panjangnya isi postingan kali ini ada yang kelewatan (koreksinya di komentar ya ;D). Aku minta feedback dari kalian tentang postingan ini di kolom komentar baik kritik sampai saran atau tambahan info agar blog Railfans S35 kembali berkembang dengan kaya konten dalam bentuk postingan dan semakin berkualitas.

Tambahan sebelum ditutup. Sebulan kemudian dari trip Argo Lawu ini, tulisan dalam tiket sudah luntur bahkan ada bagian yang hilang. Intinya umur tulisan di tiket kereta yang sekarang sekitar sebulan. Aku kangen dengan tiket model lama, sampai-sampai dari mengisi formulir pemesanan tiket sampai suara printer dot-matrix saat pencetakan tiket lebih memiliki esensi dari sekarang. Tapi masih banyak di minimarket untuk cetak token listrik prabayar. Untuk konfigurasi pencetakan tiket KA Argo Lawu ini tidak berbeda dengan Argo Dwipangga kemarin seperti nama, identitas, kode booking (kalau pemesanan online) dan sebagainya. Jadi tidak perlu dikasih gambarnya.

So Much Thanks and Goodbye...